ARTIKEL

“SISI GELAP DARI POSITIF VIBES (TOXIC POSITIF) YANG BERLEBIHAN”

Publish By Rebecca Stephanie Cynthia, M.Psi, Psikolog
Posted On 14 APRIL 2022

Selama pandemi, banyak dari kita kehilangan keluarga, teman, dosen maupun orang-orang yang kita sayangi. Kehadiran orang lain untuk menemani dan menghibur terkadang menjadi pelipur lara bagi diri di situasi tersebut. Seringkali kita mendengar mereka berkata, “yang kuat ya, segala sesuatu pasti akan berjalan baik-baik saja. Jangan terlalu khawatir, tetap bersemangatlah”. Banyak dari mereka mengajak kita untuk tetap berpikir positif di berbagai situasi negatif/menekan yang kita rasakan. Saat mendengar kata-kata itu, pernahkah anda merasa tidak nyaman, kesal atau marah dengan ucapan tersebut? Bukannya membuat kita merasa lega dan nyaman, namun semakin menambah beban pikiran kita. Ketika anda merasakan perasaan tersebut, inilah yang kita sebut dengan toxic positif. Dimana penggunaan kata-kata positif yang berlebihan dan tidak sesuai dengan konteksnya mampu menyebabkan kesedihan yang berkepanjangan, menimbulkan perasaan disalahkan maupun membuat seseorang menekan / menghindari emosi yang sesungguhnya sehingga membuatnya menjadi pribadi yang lebih buruk.



Pernahkah anda mendengar tentang toxic positif ? Istilah ini mulai sering kita dengar di media sosial ataupun dipercakapan sehari-hari untuk menggambarkan suatu hal yang terlampau positif. Pada artikel kali ini akan dibahas tentang sisi gelap dari tren positif vibes (atau kita sebut dengan toxic positif).



Apa itu toxic positif ?



Toxic positif adalah menggeneralisasikan keadaan bahagia dan optimis secara berlebihan di semua situasi yang dialami. Hasil dari proses toxic positif adalah penolakan, minimalisasi dan invalidasi emosi manusia yang sesungguhnya. Ketika “kepositifan” digunakan untuk menutupi dan membungkam seluruh perasaan yang kita rasakan, maka hal tersebut mampu menjadi toxic bagi diri kita sendiri dan orang lain. Dengan kita menolak untuk mengakui perasaan tertentu, kita berakhir dengan penyangkalan dengan seluruh emosi yang tertekan. Sebenarnya tidak semua hal / kejadian dapat menjadi suatu pengalaman yang selalu positif, dan hal tersebut wajar terjadi atau tidak apa-apa jika kita tidak setuju dengan hal tersebut. Ketika kita memaksakan segala sesuatu harus “positif” maka kita tidak membiarkan diri untuk memproses dan menangani emosi sebenarnya yang kita rasakan.



Tanda dari toxic positif



Kenyataannya tanda-tanda dibawah ini mungkin seringkali kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari, baik untuk diri kita sendiri maupun memberikan respon/saran kepada orang lain, diantaranya yaitu :




  1. Menyembunyikan perasaan anda yang sesungguhnya.

  2. Mencoba untuk “biarkan berjalan / mengalir begitu saja” dengan mengabaikan setiap emosi yang dirasakan

  3. Merasa bersalah dengan emosi yang anda rasakan

  4. Mencoba memberikan suatu perspektif baru kepada orang lain (contohnya, “mungkin kejadian ini yang terbaik karena bisa saja terjadi hal yang lebih buruk dibandingkan yang kamu alami saat ini”) daripada memvalidasi pengalaman emosi yang ia rasakan




  1. Mempermalukan atau menghukum orang lain yang mencoba untuk mengekspresikan emosi negatif atau hal lain yang ia rasakan, kecuali ia menyampaikan hal-hal yang positif

  2. Menyingkirkan hal-hal yang mengganggu anda dengan mengatakan “hal ini wajar terjadi apa adanya



Mengapa Toxic Positif Berbahaya da n Beresiko ?



Menjadi positif terkadang mampu membuat kita menjadi lebih kuat dan optimis dalam menjalani hari-hari terberat yang kita lalui.Namun, ketika seseorang mempercayai bahwa segala sesuatu harus selalu positif, maka ia mungkin akan mengabaikan suatu permasalahan serius yang dialami maupun tidak mengatasi prmasalahan kesehatan mental dengan tepat.



Begitu juga ketika kita memaksa orang lain untuk harus selalu berpikir dan bertindak secara positif, mungkin hal ini malah akan membebaninya maupun membuat orang yang kita sayangi merasa mendapat stigmatisasi dan dihakimi secara tidak langsung akibat ia melampiaskan emosi negatifnya.



Berikut ini adalah beberapa resiko dari toxic positif :




  • Mengabaikan bahaya yang sesungguhnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sinclair,dkk (2020) terkait dengan 29 studi kekerasan rumah tangga menunjukkan bahwa bias positif dapat menyebabkan seseorang yang mengalami pelecehan cenderung meremehkan tingkat keparahan yang mereka alami dan tetap berada dalam hubungan yang kasar dalam jangka waktu yang lama. Optimisme, harapan dan pengampunan meningkatkan resiko orang-orang yang teraniya tetap bersama dengan para pelaku, sehingga sasaran dari pelecehan ini mengalami peningkatan.




  • Mengabaikan kehilangan. Kesedihan dan kedukaan adalah hal yang wajar saat kita kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Seseorang yang berulang kali mendengar pesan untuk “move on” atau “berbahagialah” mungkin merasa seolah-olah perasaannya saat ini tidaklah penting. Sebagai contoh, orangtua yang kehilangan anaknya, mungkin merasa bahwa anak mereka tidaklah penting dan dengan memikirkan hal itu akan menambah kesedihan mereka saja.




  • Terisolasi dan Stigma. Seseorang yang merasa tertekan namun memaksakan diri untuk tetap tersenyum dalam menghadapi masalahnya cenderung tidak akan mencari dukungan. Mereka mungkin merasa malu dan terisolasi dengan perasaan mereka, sehingga mereka enggan untuk mencari bantuan/ perawatan kesehatan mental.




  • Masalah Komunikasi. Setiap kita berhubungan dengan orang lain akan memiliki suatu tantangan tertentu yang harus diselesaikan. Ketika kita hanya terfokus untuk selalu positif dalam menjalin suatu hubungan, maka kita akan cenderung untuk mengabaikan permasalahan / tantangan yang muncul. Pendekatan ini akan menghancurkan komunikasi dan kemampuan untuk memecahkan masalah dalam suatu hubungan.




  • Harga diri yang rendah. Setiap orang pasti mengalami emosi negatif. Ketika kita secara intens menekan diri kita untuk selalu positif, maka kita cenderung mengabaikan emosi negatif ini, walaupun dengan menahan emosi negatif terkadang mampu membuat kita menjadi lebih kuat. Namun, suatu waktu ketika seseorang tidak mampu untuk menahan emosi negatif yang ia rasakan, maka ia mungkin merasa seolah-olah mengalami kegagalan besar dalam hidupnya.



Apakah Tidak Apa Menjadi “Negatif” ?



Manusia memiliki beragam emosi, baik itu positif ataupun negatif, dan mengilhami keduanya merupakan bagian penting dari kesejahteraan diri. Kesedihan misalnya, merupakan signal untuk kita merasakan kehilangan. Kekhwatiran / kecemasan membuat kita lebih waspada terhadap situasi yang berbahaya ataupun mendeteksi keraguan moral tertentu. Sedangkan kemarahan, merupakan respon normal untuk ketidakadilan atau perlakukan buruk yang diterima.



Ketika kita mencoba untuk tidak mengakui emosi negatif berarti kita mengabaikan berbagai hal mungkin menjadi pembelajaran bagi hidup kita. Selain itu, tidak membicarakannya juga tidak membuat emosi negatif secara mendadak menghilang begitu saja. Menurut beberapa



penelitian, ketika kita membicarakan tentang emosi, terlebih emosi negatif mampu membantu otak kita untuk memproses perasaan menjadi lebih baik.



Bagaimana “Berdamai dengan Toxic Positif” ?



Kita dapat menghindari untuk melakukan toxic positif pada orang lain ataupun diri kita sendiri dengan menerapkan beberapa hal di bawah ini, diantaranya yaitu :




  1. Tidak ada emosi yang salah. Ingatlah bahwa setiap emosi yang kita rasakan memiliki peranan penting dalam kehidupan kita dan bersifat wajar, baik itu emosi positif maupun negatif. Bersyukur terhadap apa yang anda miliki, jujur dan terima juga hal yang tidak menyenangkan yang anda rasakan. Mulai dari perayaan-perayaan yang terlewatkan hingga kekhawatiran akan masa depan. Semuanya adalah hal yang penting dalam hidup anda.

  2. Exporasi emosi yang anda miliki. Lihatlah penerapan strategi pengelolaan yang kita terapkan untuk mengatasi kecemasan yang anda rasakan. Cobalah untuk membuat buku diari di pagi hari atau sebelum tidur atau kapanpun kita merasa tertekan. Suatu studi mengungkapkan bahwa ketika kita mengungkapkan emosi dalam sebuah tulisan atau kata-kata mampu membantu kita memproses emosi dan mengurangi intensitas emosi negatif, seperti kesedihan, kemarahan dan rasa sakit. Dengan menuliskan kekhawatiran atau kecemasan kita, atau jika bahkan kita tidak mampu secara aktif melakukan apapun terhadap itu, kita mengkomunikasikan kepada otak kita bahwa mereka sedang ditangani dan tidak apa-apa untuk membiarkannya pergi. Selain itu, kita juga dapat menerapkan teknik pernafasan yang digabungkan dengan meditasi untuk mengendalikan kecemasan yang muncul, belajar untuk mengakui serta menerima emosi tersebut sebagai bagian dari diri kita serta perlahan bergerak maju mengatasinya.

  3. Bersikaplah realistis. Jika saat ini anda mengalami / menghadapi emosi yang sulit / tidak stabil, namun anda ingin menjadi produktif maka coba mulailah dengan melakukan langkah-langkah kecil. Selama anda tertekan secara emosional, ada baiknya untuk mengembangkan hal-hal yang telah anda kuasai dan kenal sebelumnya dibandingkan mempelajari hal yang baru. Hindarilah melangkah terlalu jauh dari apa yang anda ketahui sampai anda merasa lebih baik. Sebagai contoh, ketika anda menyukai bermain puzzle, coba berbagai variasi berbeda dibandingkan anda memilih permainan lain yang sama sekali baru bagi anda. Hal ini mampu membantu dan melindungi anda dari tidak memenuhi harapan yang tidak realistis.

  4. Mencoba mengidentifikasi toxic positif. Apa yang membuat suatu hal positif menjadi “racun” bagi diri kita dan orang lain adalah ketika meniadakan emosi nyata lainnya. Jika kita memberi pesan bahwa emosi positif adalah satu-satunya jalan keluar, maka itu bisa menjadi masalah. Untuk membantu diri anda sendiri maupun orang lain, penting bagi kita untuk memahami mana pernyataan positif yang membangun dan mana pernyataan positif yang menghancurkan mental. Belajarlah untuk mendukung dan memvalidasi perasaan yang anda / orang lain rasakan. Anda dapat berlatih pada point sebelumnya yaitu contoh- contoh toxic positif dan cara memvalidasinya.

  5. Carilah dukungan. Ketika kita mengalami hari-hari yang berat, kita dapat mencari dukungan kepada orang-orang yang tidak akan memberikan jugdment negatif saat kita berkeluh kesah, baik itu kepada tenaga profesional (seperti Psikolog) maupun kepada teman / saudara / seseorang yang kita percayai.



 


  ARTIKEL TERBARU

Situasi dan kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia, merupakan sebuah ancaman nyata bagi seluruh ma ... Selengkapnya
Di masa pandemi Covid-19 saat ini, adanya perhatian khusus dan perlindungan ekstra bagi generasi ... Selengkapnya
K3RS merupakan singkatan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit. Penerapan K3RS merupak ... Selengkapnya
Apa itu NSSI. Nonsuicidal Self-Injury (NSSI) merupakan perilaku melukai ... Selengkapnya